Dalam struktur masyarakat Indonesia yang terbagi atas berbagai ragam ras, budaya,etnis, agama, sampai aliran kepercayaan mengisyaratkan tentang konstruksisosial yang terbentuk merupakan pengejawentahan dari pluralisme Bangsa Indonesia yang telah dikemas dalamsemboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’. Semboyan tersebut berfungsi sebagai alat pemersatu bangsa dari ancaman disintegrasi yang selalu mengintai dalam realitas kebangsaan Indonesia dewasa ini.
Tetapi episode kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia akhir – akhir ini dihadapkan pada permasalahan menguatnya sentimen primordialisme yang telah merambah di segala sektor kehidupan masyarakat tanpaterkecuali. Wacana tersebut semakin kentara, ketika kontestasi politik sudah di ambang pintu.Politik identitas yang sejatinya merupakamn perjuangan rakyat dalam mengaktualisasikan karakteristik khasnya sebagai bagian untuk saling memperkaya dialektika wacana dalam konteks kompetisi politik, berubah menjadi ajang untuk saling mengunggulkan dominasi kelompoknya atas kelompok lain. Kontestasi yang seharusnya saling beradu gagasan dan konsep yang konstruktif, tetapi malahan saling menjatuhkan lawan dengan isu SARA yang terkesan menunjukkan sifat yang destruktif bagi pembangunan sebuah bangsa.
Wacana Civil Society (masyarakat madani/masyarakat berperadaban) yang telah berkembang sejak awal abad ke – 20 menemukan relevansinya dari situasi dan kondisi sosial politik di Indonesia di bawah rezim reformasi dewasa ini. Konsepsi negara demokratis yang menjunjung tinggi penghargaan atas keberagaman lokalitas,persamaan di dalam hukum dan pemerintahan, sinergisitas seluruh elemen bangsa dapat terwujud ketika Civil Society mengalami penguatan dalam konteks kehidupan bermasyarakat yang berimplikasi pada meredupnya praktik politik identitas di Indonesia. Kondisi ideal tersebut merupakan suatu upaya untuk mengembalikan roh dan spirit Pancasila yang telah dirumuskan oleh para Founding Fatherske dalam sendi – sendi kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat Indonesia yang dianugerahi tata warna mozaik kultural warga negaranya.
Agnes Heller mendefinisikan politik identitas sebagai gerakan polifik yang fokus perhatinnya adalah perbedaan sebagai suatu kategori politik yang utama. Sementara Kemala Chandakirana (1989) dalam artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan, menyebutkan bahwa: Politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi “orang asli” yang menghendaki kekuasaan dan mereka bagi “orang pendatang” yang harus melepaskan kekuasaan.
Jadi, singkatnya politik identitas sekedar untuk dijadikan alat memanipulasi-alat untuk menggalang politik–guna rnemenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya”. Dari dua definisi diatas tentunya sangatlah cocok dengan situasi politik sekarang ini. Dimana wacana politik identitas digunakan oleh sebagian elit politik untuk menggalang kekuatan massa dan menjatuhkan lawan politiknya yang notabene berbeda identitasnya melalui berbagai serangkaian propaganda yang dikemas melalui komunikasi politik nan piawai dan menembus alam bawah sadar pendukungnya.
Namun yang perlu menjadi catatan, bahwasannya politik identitas yang merebak dalam konteks politik kekinian merupakan suatu antitesis atas sentralisme kekuasaan yang dijalankan oleh rezim Orde Baru. Dimana politik identitas direpresentasikan melalui pembentukan partai politik yang mengusung ideologi ‘islam’ yang di masa pemerintahan orde baru terkungkung oleh dominasi kekuasaan politik yang bercorak nasionalisme.
Dalam diskursus yang lain politik identitas adalah suatu pengejawentahan atas beragamnya identitas bangsa indonesia dalam hal suku bangsa, etnis, dan agama yang ingin mengartikulasikan kepentingannya dalam struktur politik dan pemerintahan di Indonesia. Hal tersebut tentunya sangat baik ketika konsepsi politik identitas didasarkan pada kesadaran untuk tetap meneguhkan asas persatuan nasional yang dibingkai dalam semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’.
Seperti yang dikemukakan Buya Syafii Maarif dalam buku ‘Politik Identitas dan Masa Depan Prularisme Kita “bahwa Politik identitas dalam bentuk apa pun tidak akan membahayakan keutuhan bangsa dan negara ini di masa depan, selama cita-cita para pendiri bangsa tentang persatuan dan integrasi nasional, semangat Sumpah Pemuda yang telah melebur sentimen kesukuan, dan Pancasila sebagai dasar filosofi negara tidak dibiarkan tergantung di awang-awang, tetapi dihayati dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.”
Civil Society sebagai cita – cita ideal dari proyeksi masyarakat yang didambakan ideologi Pancasila menemukan relevansinya dalam menyikapi berbagai konstraksi politik yang diakibatkan oleh politik identitas. Dimana Pancasila sebagai simbol supremasi hukum dan identitas nasional menjadi faktor penting bagi terbentuknya masyarakat yang menginginkan harmonisasi relasi soasial di tengah keragaman identitas yang saling menegasikan.
Dengan Pancasila masyarakat akan berusaha menjalin serta membangun sistem komunikasi yang saling membutuhkan satu sama lainya, dan mampu membentuk sikap kesanggupan memelihara identitas kelompoknya bahkan kelompok yang berbeda dengannya dalam berinteraksi di ruang bersama untuk menerima pluralisme dan toleransi yang harus diaplikasikan dengan mengakui dan menghormati perbedaan antara satu kelompok dengan lainnya
.Dengan begitu, perbedaan menjadi rahmat Allah yang harus dijaga secara dinamisdan berkelanjutan, sehingga dapat mewujudkan terpeliharanya identitas lokal dan kepercayaan partikularnya dari budaya bangsa dalam bentuk integrasi sosial, politik, budaya, dan ekonomidi tingkat lokal, nasional ataupun global.Dan pada akhirnya simpul pengikat antara Pancasila dan civil society akan membentuk persenyawaan mulitukulturalisme yang di dalamnya terbingkai dengan indah interaksi antar masyarakat yang saling menaruh hormat dan berdiri tegak di atas kesamaan visi-misi dalam proses pembangunan Bangsa Indonesia yang lebih demokratis.
Jean L. Kahin dan Andrew Arato menkonsepkan masyarakat madani sebagai suatu kondisi kehidupan masyarakat yang tegak di atas prinsip-prinsip egaliterisme dan inklusivisme universal. Dari penyataan tersebut mengisyaratkan akan kesetaraan kedudukan dan keterbukaan dari seluruh komponen masyarakat dalam menciptakan suatu ruang publik yang menegosiasikan beragam kepentingan menuju satu tujuan bersama. Sedangkan Nicos Mouzelis mendefinisikan bahwa civil society adalah semua kelompok sosial dan lembaga sosial, dalam sebuah tatanan sosial,
yang muncul di tengah-tengah ikatan kelompok-kelompok primordial dan institusi-institusi lainnya. Dari definisi tersebut dapat kita tarik suatu wacana, bahwasannya Civil Society dibangun di atas fondasi komposisi masyarakat yang masih memegang teguh ikatan kesukuan dan keagamaan. Tetapi civil society berdiri tegak tanpa terpengaruh oleh terpaan sentimen primordialisme dan bahkan meleburkannya dalam suatu ruang yang memberikan penghormatan atas keberagaman tersebut.
Praktik politik identitas yang cenderung menguat dewasa ini yang mengedepankan isu sektarian merupakan suatu bentuk kemunduran aktifitas politik masyarakat dalam iklim demokratisasi. Hal ini tentunya menghambat bagi keberlangsungan penyelenggaraan roda pemerintahan secara demokratis yang notabene merupakan amanah reformasi.
Pancasila sebagai ideologi Bangsa Indonesia ketika diperas dari isi sila – silanya, maka akan didapatkan saripati yang mengidealkan suatu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai – nilai kebaikan universal, seperti nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Permusyawaratan, dan Keadilan. Kondisi tersebut sejalan dengan tujuan dari pembentukan civil society yang dikemukakan oleh Bahmueller bahwa Civil Society mengisyaratkan meluasnya kesetiaan (loyality) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri. Dimana individu masuk dalam suatu komunitas sosial yang didalamnya terdapat nilai – nilai luhur yang harus dijunjung tinggi keberadaannya dan diaplilkasikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dimana individu tersebut berdomisili.
Civil Society yang berarti masyarakat madani/masyarakat beradab menurut terminologi konsepsi bernegara yang dijalankan di Kota Madinah dapat menjadi alternatif terbaikuntuk mendamaikan diskursus politik identitas dalam kehidupan demokratisasi diIndonesia. Kehidupan yang penuh dengan sikap toleransi, egaliter, inklusivisme universal dan menghargai perbedaan dalam suatu ikatan sosial merupakan kondisi yang diidealkan civil society dan selaras dengan masyarakat yang di cita –citakan Pancasila.
Civil Society sebagai implementasi dari konsepsi masyarakat Pancasila menjadi ujung tombak untuk mewujudkan tatanan demokratis di Negara Indonesia dalam menghadapi hambatan dan rintangan dalam bentuk isu sektarianisme yang selalu menghadang perjalanan Bangsa Indonesia. Politik identitas sebagai bagian dari realitas keindonesian harus mampu menjadi penyeimbang dari gerak pendulum kehidupandemokratis Bangsa Indonesia yang dikaruniai kekayaan budaya dalam wujud simpul Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa agar proses demokratisasi di Negara Indonesia tetap bergerak dalam poros dan koridor yang telah diamanatkanoleh Para Pendiri Bangsa. / Gusti
Daftar Pustaka
Abdul Aziz SR, et al., Menggugat Negara: Dialektika Ekonomi Politik, Hukum, dan Civil Society, (Malang: Intrans Publishing, 2016), h. 35.
Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. IV, h. 179-180.