Sexual Harassment in Cyberspace

Internet merupakan salah satu penemuan teknologi terbesar oleh manusia. Kehadiran internet ke muka bumi ini memunculkan sebuah dunia baru yakni cyberspace. Berbagai aktivitas kehidupan sosial yang sebelumnya mensyaratkan aktivitas fisik tergantikan oleh aktivitas virtual dalam cyberspace, mulai dari kegiatan ekonomi, pendidikan atau pun model interaksi yang lebih mendasar seperti silaturahmi kekeluargaan dan pertemanan. Untuk itu, banyak sekali perubahan mendasar yang dibawa oleh internet ke dalam  kehidupan manusia. Demikian hal nya dengan kekerasan seksual terhadap perempuan yang juga turut hadir dalam dunia maya, tidak berbeda dengan dunia nyata. Seperti yang dituturkan oleh Faith Wilding (1998) internet memuat segala karakteristik segragasi sosial, termasuk jenis kelamin dan peran gender, sehingga di tengah ruang yang secara dominan mengadopsi patriarki, diskursus mengenai perempuan akan didominasi dengan ide yang bersifat melecehkan dan senderung mengobjektifikasi. Cyberspace, dengan demikian tak lebih dari sebuah versi digital ruang sosial patriarki –cyberspace-patriarchy, yang di dalamnya keluhan-keluhan tentang perlakuan tidak adil terhadap perempuan tetap saja hidup. Sama seperti dunia nyata, cyberspace merupakan sebuah area kontestasi nilai dan ide. Dimana berbagai macam diskursus pengetahuan bertarung di dalamnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Foucault di dalam Power/Knowledge, bahwa terdapat kesaling-berkaitan antara teknologi, pengetahuan, kekuasaan, dan tubuh (body) sebagai sebuah kesatuan wacana. Dengan semakin banyaknya diskursus kekerasan dalam penggunaan cyberspace, berarti sebelumnya terdapat reproduksi nilai dan ide secara terus menerus tentang kekerasan seksual terhadap perempuan. Nilai dan ide ini bisa tersebar melalui pemberitaan, video, gambar atau pesan singkat. Reproduksi ide dan nilai secara terus menerus membuat pengetahuan manusia telah didominasi oleh diskursus tersebut.

Menurut (Sadari, 2016) internet sebagai teknologi dapat menciptakan monopoli pengetahuan oleh kelompok dominan di dalam masyarakat yang dengan kekuasaannya mengucilkan kelompok-kelompok marginal yang tidak mempunyai akses ke dalamnya, misalnya, kelompok perempuan atau anak-anak. Sekali teknologi diterima di dalam masyarakat, ia akan menanamkan nilai-nilai yang didesain untuknya. Dengan demikian sexual harrasment dalam cyberspace terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa antara perempuan (sebagai kaum yang termarjinalkan) dengan laki – laki. Kekuasan itu timbul karena adanya diskursus kekerasan terhadap perempuan yang terus menerus di produksi. Sehingga membuat laki – laki memandang hal tersebut sebagai hal yang lumrah. Ditambah lagi dengan sifat radikal dari cyberspace yang memiliki kebebasan tanpa batas, kekerasan seksual pada perempuan dalam cyberspace menjadi semakin marak terjadi.

Potensi kekerasan pun turut mewarnai aktivitas antar individu dalam cyberspace. Hal ini dikarenakan sifat radikal dari cyberspace yang sangat bebas dan melampaui keterbatasan. Sehingga kekerasan seksual tidak hanya terjadi di ruang publik nyata. Tetapi juga terjadi dalam dunia digital yang tidak mampu mengakomodir pertemuan secara fisik antara pelaku cyber-harassment dan korbannya. Meskipun sentuhan – sentuhan fisik tidak terjadi, bukan berarti apa yang terjadi di ruang publik nyata tidak dapat terjadi di ruang publik tidak nyata (cyberspace).

Cyberspace sebagai ruang publik baru telah menghadirkan banyak pergeseran dalam kehidupan manusia. Tidak hanya persoalan arus informasi yang semakin meningkat atau pun kehidupan manusia yang semakin multitasking. Bahkan pada aspek dasar kebutuhan manusia, yaitu seksualitas. Menurut (Rianto, 2015) dalam dunia cyber, seksualitas, tampaknya, mendapatkan energi yang jauh lebih kuat dibandingkan pada dunia nyata.  Hal ini dikarenakan cyberspace mampu mendobrak ketabuan akan seksualitas  yang begitu kuat dipelihara di dunia nyata. Sifat radikal dari cyberspace yang sangat bebas dapat memberikan peluang bagi munculnya praktik – praktik yang secara moral bertentangan dengan dunia nyata. Maka dari itu, kekerasan seksual pun turut mewarnai cyberspace./ Kartika

 

 

Referensi :

Foucault, Michel. (2017). Power/Knowledge. Yogyakarta : Narasi.

Rianto, Puji. (2015). Seksualitas Cyber: Sex Sebagai Kesenangan dan Komoditas. Jurnal INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi, 45(2), 163-170. Diakses melalui https://journal.uny.ac.id

Sadari. (2016). Post-Feminitas: Teknologi Sebagai Basis Keadilan Gender (Teknopolitik dan Masa Depan Relasi Gender). Intizar, 22(1), 135-154.

Wilding, Faith. (1998). Where is the Feminism in Cyberfeminism. N. Paradoxa, 6-13.

Scroll to Top