Voter Buying in Indonesia

Tulisan ini merupakan sebuah resensi politik dari sebuah jurnal yang berjudul Voter Buying In Indonesia: Candidate Strategies, Market Logic And Effectiveness karya Edward Aspinall dkk. Voter buying (pembelian suara) merupakan fenomena yang umum terjadi dalam praktik elektoral di Indonesia, terutama sejak digulirkannya sistem pemilu langsung sejak tahun 2004. Sistem pemilu langung menempatkan warga negara sebagai subjek utama dalam kontestasi elektoral karena memiliki hak suara untuk memilih calon kandidat. Karena itu berbagai strategi dilakukan oleh kandidiat untuk mempengaruhi pemilih (voter) guna memberikan hak pilihnya di saat hari pencoblosan. Dalam hal ini, fenomena voter buying yang dilakukan oleh kandidiat menjadi sulit dihindarkan. Aspinall dkk telah menjelaskan secara gamblang bagaimana pemilu bekerja di akar rumput yang dihiasi oleh praktik illegal dengan menggunakan modal atau uang sebagai komoditas politik yang strategis untuk memperngaruhi pemilih. Kandidat menggunakan logika marketing dengan melakukan jual beli suara kepada pemilih. Para kandidiat membagi-bagikan uang kepada pemilih, memberikan barang serta menyuap para penyelenggara pemilu pada tingkat yang sebelumnya belum pernah terjadi dalam sejarah pemilu di Indonesia.

Voter buying dipahami sebagai distribusi pembayaran uang tunai atau barang dari kandiidat kepada pemilih secara sistematis beberapa hari menjelang pemilu yang disertai dengan harapan yang implisit bahwa para penerima akan membalasnya dengan memberikan suaranya bagi si pemberi. Sederhananya menyerupai praktik transaksi ekonomi ada “penjual dan pembeli”, seperti membeli beberapa barang di pasar, hanya saja dalam konteks ini sedikit berbeda karena pada dasarnya vote buyer tidak secara eksplisit meminta atau menuntut suara dari pemilih atas pemberian uang atau barang yang telah mereka korbankan. Di samping itu kandidiat sebagai vote buyer mengalami kesulitan untuk mengetahui apakah pemilih dapat menerima untuk memberikan hak suaranya pada saat terjadinya tawar menawar. Meskipun demikian, menurut hasil survey dan penelitian kualitatif menunjukan bahwa kurang lebih 50 persen pemilih yang menerima pemberian uang dari kandidat atau partai akan berakhir pada pemberian hak suara mereka di saat hari pencoblosan.

Pada umumnya kandidiat atau partai melakukan strategi vote buying ini kepada para pemilih yang sudah menjadi basis pendukungnya. Dengan kata lain, vote buying ini tidak hanya soal memberi suara tetapi juga menyakinkan bahwa simpatisan dari seorang pemilih benar-benar memilih mereka pada saat hari pencoblosan, ini sangat penting untuk mengenai perkiran perolehan suara yang akan diperoleh kandidiat ataupun partai. Meskipun tidak semua kandidiat melakukan praktik illegal ini, namun sebagian besar kandidat atau partai menjalankan praktik ini dengan sangat sistematis, mereka memobilisasi untuk pemilih tersebut. Untuk memudahkan berlangsungnya proses vote buying ini, sering kali kandidat atau partai menggunakan jasa broker yang berperan sebagai penengah antara kandidiat dan pemilih dalam melakukan distribusi pembayaran. Peran broker menjadi sangat berarti ditengah kekhawatiran kandidat atau partai bahwa mereka harus memberikan sejumlah uang tunai kepada kelompok-kelompok atau komunitas-komunitas dan para pemilih dengan hanya memperoleh sedikit suara sehingga hal tersebut dianggap hanya akan menghamburkan uang. Dalam konteks ini broker kemudian muncul membawa sebagai solusi. Biasanya broker yang ditunjuk ini merupakan orang yang dipercayai oleh pemilih sehingga mucul adanya jaminan bahwa pemilih benar-benar mendukung kandidat atau partai. Relasi antara kandidat dan pemilih melalui jejaring broker dalam voting buying ini membentuk praktik patronase dan klientalisme.

Pertanyaan yang muncul adalah siapa target voter yang dipilih oleh kandidiat untuk menjalankan voting buying? Berapa banyak uang yang harus dibayarkan? Aspinall dkk memaparkan bahwa pemilih yang sudah menjadi basis masa kandidat atau partai menjadi salah satu target. Dengan memberikan sejumlah uang atau barang kepada mereka merupakan sebuah strategi untuk mengikat keberpihakan mereka dalam menggunakan hak pilihnya pada saat hari pencoblosan nanti. Target selanjutnya dan yang laing utama adalah ‘massa mengambang’ (floating mass). Mereka menjadi target utama karena pemilih massa mengambang belum memiliki dan dapat menentukan pilihan yang pasti perilal figur atau partai apa yang mereka pilih. Dengan memberikan sejumlah uang atau barang kepada mereka dianggap mampu mempengaruhi preferensi memilih swing voters pada saat hari pencoblosan.

Sementara untuk menaksir besaran jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh kandidiat atau partai kepada pemilih, berdasarkan hasil penelitian Aspinal dkk melihat praktik voting buying di beberapa daerah di Pulau Jawa, besaran uang yang dikeluarkan berkisar antara 15.000 sampai 30.000 rupiah bahkan kadang mencapai 50.000. Pembayaran tersebut didistribusikan kepada lebih dari 30.000 pemilih atau sesuai dengan besaran jumlah konstituen di daerah yang bersangkutan. Apabila dikalkulasikan secara keseluruhan, untuk melakukan vote buying besaran uang yang dibutuhkan oleh kandidat dalam kontestasi elektoral mencapai 400 sampai 700 milyar. Menurut Aspinal dkk, strategi voting buying ini sanga efektik untuk mendulang perolehan suara bagi kandidat mencapat 35 hingga 80 persen. Berdasarkan hasil penelitian Aspinal terhadap kandidat yang sukses memenangkan pemilu di Jawa Timur bahwa dengan mendistribusikan 109.000 amolop berisi uang kepada pemilih berhasil memperoleh 67.000 pemilih. Bahkan beberapa kandidat dengan memberikan uang seharga 20.000 dapat memperoleh lebih dari 4.000 suara. Artinya, menggunakan logika pasar dengan menjalankan voting buying menjadi salah satu strategi utama bagi kandidiat untuk mempengaruhi pemilih. Bahkan, dapat dijadikan salah satu indikator untuk memprediksi kemungkinan kemenangan bagi kandidat. /Mahpudin

Scroll to Top