Dilema Representasi Perempuan, Act For atau Stand For

Salah satu pembahasan penting dalam kajian ilmu politik dan pemerintahan adalah kajian tentang representasi, terutama representasi bagi kelompok marginal salah satunya perempuan. Representasi adalah seseorang yang diberikan otoritas untuk melakukan aksi atau tindakan atas nama kelompok tertentu (Pitkin, 1967). Di bidang politik, representasi bagi perempuan terafirmasi melalui kebijakan kuota 30% perempuan di parlemen, yang memang seringkali kuota ini tidak terpenuhi karena banyak hal. Perdebatan muncul saat kemudian dipertanyakan lebih lanjut apakah memang kuota 30% ini benar – benar representasi dari kepentingan atau hanya representasi jumlah perempuan saja. Apakah 30% perempuan ini wakili kepentingan perempuan atau kepentingan perempuan justru diperjuangkan oleh laki – laki yang paham kesetaraan gender. Pertanyaan lebih lanjut yang muncul adalah apakah kuota 30% ini masih relevan diterapkan atau justru dihapuskan.
Dalam kajian representasi, bentuk perwakilan dapat dibagi menjadi 2 bentuk umum yaitu bentuk stand for dan act for (Pitkin, 1967). Representasi stand for tergambarkan saat wakil yang terpilih merefleksikan kelompok yang dia wakili walau memang tidak ada jaminan dia secara inheren melakukan sesuatu untuk kepentingan orang yang diwakilkan. Representasi act for tergambarkan saat wakil melakukan seuatu yang inheren dengan kepentingan kelompok masyarakat yang dia wakili walaupun calon tersebut bukan bagian dari kelompok.
Dalam pembahasan terkait perwakilan perempuan, representasi stand for menjelaskan bahwa yang tepat untuk mewakili kelompok perempuan di bidang politik adalah perempuan itu sendiri, karena memang yang paham kebutuhan perempuan adalah perempuan itu sendiri. Walaupun memang seringkali ditemukan bahwa representatif perempuan tidak selalu mengusung isu – isu terkait kepentingan perempuan. Pada representasi act for, tidak lagi dipermasalahkan siapa yang mewakili perempuan apakah itu perempuan sendiri atau laki – laki yang memang paham akan isu – isu kesetaraan gender. Hal ini tentunya membuka ruang diskusi yang lebih serius karena masing – masing pihak mengklaim kelebihan dari masing – masing bentuk representasi. Bagi penulis sendiri, keterwakilan perempuan menjadi penting tidak hanya sekedar jumlah tetapi juga kepentingan. Karena jumlah tidak akan selalu bisa diukur dengan konsistensi kualitas. Pekerjaan rumah bersama yang menuntut untuk diselesaikan bukanlah memastikan bahwa jumlah perempuan yang masuk ke ranah politik bertambah setaip tahun. Hal ini menjadi penting tetapi ada permasalahan yang jauh lebih penting yaitu saat setiap orang memiliki kapasitas untuk memahami prinsip – prinsip kesetaraan gender sehingga kepentingan – kepentingan perempuan tidak hanya menjadi urusan perempuan saja tetapi juga menjadi urusan publik yang menuntut untuk diselesaikan dengan campur tangan laki – laki dan tanpa mendiskreditkan peran perempuan. (IAI)
———————————————————————————
Sumber gambar: http://www.ziliun.com/articlestrivia-peringkat-indonesia-dalam-representasi-wanita-di-parlemen/
Scroll to Top