Fenomena Ahok, Menguatnya Politik Identitas sebagai Tantangan Multikulturalisme

Beberapa bulan belakangan ini perhatian publik tersedot pada sosok Basuki Tjahja Purnama Sosoknya dianggap kontroversial, disatu sisi dipuja karena mampu membawa perubahan di ibu kota yang selama ini permasalahannya selalu berlarut-larut, tetapi di sisi lain pembawaan beliau tidak disukai banyak orang. Karakter yang keras, intonasi bicara yang tinggi dan kata-kata yang dianggap sebagian orang kasar menjadi sisi lain Ahok yang tidak disukai banyak orang. Tensi kebencian meningkat saat Ahok tersandung masalah karena dianggap sebagian kalangan menistakan Agama Islam dengan menggunakan surat Al Maidah 51. Publik terbagi menjadi dua kelompok. Sebagian menganggap itu bukanlah bagian dari penistaan, hanya masalah bahasa seperti eating with spoon dan eating spoon. Di kelompok yang lain, perkataan Ahok dianggap melukai perasaan kelompok. Emosi memuncak, kesucian agama dianggap tercoreng, lahirlah gelombang gerakan yang dimaksudkan untuk melakukan ‘pembelaan agama’.
Puncaknya, jatuh vonis 2 tahun penjara pada Pak Ahok karena dianggap melakukan penistaan agama. Sebagian bersorak sorai karena merasa doa junjungan mereka didengar Sang Pencipta. Mereka bahagia karena ‘gerakan mengawal’ yang mereka lakukan berhasil. Sebagian menangis, karena menganggap vonis tersebut tidak beralasan, tidak setimpal dengan apa yang sudah diperbuat Ahok selama menjabat, tidak setara dengan perubahan yang sudah dilakukan di ibukota.
Ditengah hiruk pikuk tersebut, ada permasalahan yang jauh lebih serius yang terabaikan yaitu terancamnya multikulturalisme Indonesia melalui menguatnya politik identitas yang didasarkan pada agama. Agama tidak lagi dimaknai sebagai romantisme makhluk dan Sang Pencipta tapi berubah menjadi ekspresi identitas kelompok yang dijadikan dasar dari sebuah gerakan. Sehingga orang-orang akan marah saat identitas agama mereka tercoreng tetapi tidak akan marah saat substansi agama tidak dijalankan. Ahok dianggap kafir karena bukan memeluk agama mayoritas. Proses ekslusi melalui identifikasi otherness dilakukan dengan kencang. Toleransi antar umat beragama digadaian. Identitas keagamaan menjadi basis inklusi dan ekslusi kelompok. Dwipayana (2011) mengemukakan bahwa melihat agama sebagai politik identitas sebenarnya masih mengundang perdebatan. Pertama, agama tidak boleh digunakan sebagai identitas karena akan digunakan sebagai dasar membedakan satu orang dengan orang yang lain. Kedua, agama dianggap sebagai pandangan hidup bukan identitas karena saat dipandang sebagai identitas maka agama tidak lagi dilihat sebagai mana ajaran yang baik dan buruk tetapi dilihat pada aktor yang mengidentifikasi pada ajaran tertentu. Akibatnya fundamentalisme dan radikalisme umat beragama menjadi menguat.
Multikulturalisme menjadi tergadai. Karena yang Kristen dan Tionghoa bukanlah dianggap pribumi. Agama dijadikan klaim kelompok untuk menghakimi seseorang. Agama berada di ruang abu-abu antara apakah hal tersebut harus diperlakukan layaknya hak individu atau hak kelompok. Ranah abu-abu inilah yang rentan memunculkan konflik karena klaim kafir, klaim agama kami yang terbaik dan kelompok agama yang lain adalah menyimpang tumbuh subur. dan tugas negara adalah menegakkan komitmen tentang kebebasan dan kesetaraan seluruh warganya tanpa memandang keanggotaan kelompoknya (Kymlicka, 2011). Tetapi yang terjadi kemudian, seringkali negara tidak berdaya karena intervensi kelompok mayoritas. Banyak pihak yang meyakini bahwa vonis 2 tahun Ahok adalah salah satu bentuk nyata dari intervensi terhadap negara.Akan indah sebenarnya jika Ahok yang Kristen dan Tionghoa menjadi Gubernur Jakarta karena dengan lantang bisa disebutkan Indonesia sebagai negara mayoritas muslim cukup dewasa untuk mengakui kapasitas mereka yang memiliki agama berbeda dan mempercayai jabatan publik untuk dipegang oleh mereka.
Ini bukan hanya soal Pilkada rasa Pilpres. Ini bukanlah soal pembelaan pada Ahok. Ini bukan hanya tulisan tentang politik semata, tetapi tulisan untuk mewujudkan kesadaran agama dari sisi ilmu pengetahuan. Ini adalah bagaimana kerukunan dan toleransi antara umat beragama dijalankan sesuai dengan amanat UUD 1945. Bagaimana semua orang dengan agama apapun, ras apapun, golongan apapun berhak diperlakukan setara dan memiliki kesempatan yang sama dibidang apapun termasuk di bidang politik. Tentang impian mengemabalikan lagi Indonesia yang multikultur dan saling menghormati satu sama lain. Dimulai dengan memperlakukan semua orang sama tanpa melihat latar belakangnya. Karena inti dari konsep kewargaan adalah kesadaran atas kesetaraan manusia sebagai warga negara dan identitas sebagai warga negara itu menjadi bingkai politik untuk semua orang, terlepas dari identitas lain apapun yang dimilikinya termasuk identitas keagamaan (Bagir, 2011).
Scroll to Top