Dewasa ini, pemimpin daerah di berbagai wilayah Indonesia mulai dihiasi dari kalangan perempuan walaupun dari jumlah persentase masih terbilang minim sedikitnya 5,35 persen. Setidaknya hal ini menandakan adanya kemajuan demokrasi Indonesia atas partisipasi politik dari perspektif gender, sebagaimana Hatta memaknai demokrasi sebagai pembebasan individu dari segala bentuk kekangan tradisi. Dan salah satu tradisi yang mengekang adalah tembok patriaki.
Berbanding berbalik jika kita kembali melihat pada situasi sosial poitik di rezim orde baru, dimana perempuan memiliki ruang gerak yang sempit untuk masuk pada sektor-sektor publik terkhusus ranah politik yang acap kali dianggap keras dan kotor. Ideologi patriarki dan streotip gender yang ditumbuhkan oleh rezim orde baru, membangun kontruksi sosial dimana perempuan lebih pantas menjadi ibu dan istri yang baik sebagai konsekuensi dari “kodrat” perempuan.
Penyelenggaraan pilkada langsung di era reformasi, membuka arus peluang kepemimpinan perempuan menjadi kepala daerah. Lantas kenapa dengan kepemimpinan perempuan? jika perempuan ingin kepentingannya terakomodir dan terpenuhi, bukankah selama ini ada yang bisa berbicara atas nama perempuan dan mewakili kepentingan perempuan? pertanyaan-pertanyaan diatas mencerminkan pergeseran dari politik gagasan (politics of idea) kearah politik kehadiran (politics of presence) (Susilastuti, 2013: 8). Tuntutan terhadap meningkatnya partisipasi politik perempuan yang setara dengan partisipasi laki-laki telah menggantikan representasi perempuan melalui ide, platform politik atau pembentukan kebijakan (Phillips, 1995).
Jika sebelumnya laki-laki dianggap mampu mengakomodir kebutuhan perempuan dengan tanpa harus melibatkan partisipasi langsung dari perempuan, maka saat ini keterlibatan langsung menjadi penting karena pada dasarnya kepentingan berbasis gender mereka berbeda, yaitu kepentingan yang terbentuk secara kolektif sebagai hasil dari kontruksi peran gender dan hubungan antar gender. Adapun Moser (1989) membagi kepentingan berbasis gender kepada dua kategori, yaitu kepentingan gender yang praktis (partical gender interest) seperti kebutuhan untuk memperoleh air bersih atau perawatan kesehatan dan kepentingan gender yang strategis (strategic gender interest) yaitu strategis yang lebih berkaitan erat dengan agenda transformatif yang mempertanyakan norma-norma sosial yang mendudukan perempuan dalam posisi subordinat dan upaya untuk mengubahnya.
Di Indonesia ada sebanyak 1.084 kepala daerah dan wakil kepala daerah dari total keseluruhan daerah tingkat provinsi dan kota/kabupaten, dan sedikitnya 59 kepala daerah yang berasal dari kalangan perempuan. Salah satu provinsi dengan kepala daerah perempuan terbanyak adalah Banten. Dari delapan wilayah kabupaten/kota di banten, empat diantaranya dipimpin oleh perempuan, antara lain Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya, Bupati Pandeglang Irna Narulita, Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah dan Walikota Tangerang Selatan Airin Rahmi Diany.
Dari segi persentase kepemimpinan politik perempuan, ini menjadi kemajuan tersendiri bagi Banten yang notabene masih kental dengan nilai dan kultur agamis. Banten bahkan menjadi provinsi pertama yang memiliki kepala daerah perempuan pertama di Indonesia. Setidaknya ini menandakan resistensi terhadap perempuan berpolitik di Banten sudah berkurang dan secara perlahan membuka kotak Pandora dunia politik yang belum ramah terhadap kelompok marginal seperti perempuan.
Hanya saja yang menjadi persoalan adalah partisipasi politik perempuan di Banten menopang bangunan kokoh politik dinasti. Seluruh kepala daerah perempuan di kabupaten/kota di Banten memiliki hubungan kekeluargaan dengan pejabat atau kepala daerah yang sedang dan/ sudah tidak lagi menjabat. Kepala daerah perempuan yang terpilih cenderung karena latar belakang patriarki.
Mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chasiyah adalah anak dari jawara terkenal di Banten yaitu Tb. Chasan Sochib. Anak perempuan lain TB Chasan, Ratu Tatu Chasiyah, saat ini sedang mejabat sebagai Bupati Serang. Dan menantunya, Airin Rahmi Diany menjabat sebagai Walikota Tangerang Selatan. Sedangkan Bupati Pandeglang, Irna Narulita adalah istri dari Bupati Pandeglang sebelumnya yaitu A. Dimyati Natakusumah. Dan Bupati Lebak, Iti Octavia Jayabaya adalah anak dari Mulyadi jayabaya yang merupakan mantan Bupati Lebak.
Fenomena diatas mencerminkan quality gender hanya bertumpu pada perempuan yang memiliki keistimewaan ekonomi dan nama besar keluarganya yang mampu menjadi kepala daerah. Terlebih dinasti politik selama ini dikenal dengan citra negatif karena ambisi yang dituju cenderung untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam mempertahankannya tidak jarang melalui cara-cara menyimpang seperti penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan. Terlebih lagi, jika kepentingan yang dibawa justru bukan pada upaya memperjuangan kepentingan gender melainkan berkutat pada kepentingan pragmatis keluarganya.
Jika memang keterpilihannya sebagai kepala daerah ditopang oleh politik dinasti, maka harus dibarengi dengan kapasitasnya sebagai pemimpin. Kapasitas disini tidak sekedar merujuk pada kemampuan dalam menjalankan kepemimpinan, akan tetapi juga kemampuan untuk menyuarakan kepentingan gender baik yang bersifat praktis maupun yang bersifat strategis. Disinilah adanya pergeseran makna baru dari politik gagasan ke politik kehadiran. Karena kehadiran saja tidak cukup, tapi penting menunjukan kemampuannya sebagai pemimpin perempuan.
Terakhir, mengutip pernyataan Presiden Chile, Michelle Bachelet: “jika demokrasi mengabaikan partisipasi perempuan, tidak menanggapi suara perempuan, dan membatasi perkembangan hak-hak perempuan, sesungguhnya demokrasi itu hanya untuk separuh warganya.” (SN)
——————————————————————————
Sumber gambar: http://1.bp.blogspot.com/