Satu moment yang dijadikan andalan dalam politik adalah pemilu, siapa yang tak kenal dengannya, suatu kegiatan yang dijadikan ujung tombak dan tembok yang terkadang didalamnya mencuatkan berbagai konspirasi-konspirasi, yang membuat warna-warni kegiatan politik yang satu ini. Moment ini termasuk yang paling ditunggu-tunggu di antara momen politik yang lainnya dan ketika mendengar kata tersebut sudah tak asing lagi diruang dengar publik, dari lapisan Atas, lapisan tengah, hingga lapisan bawah sekalipun, yang terkenal dengan sebutan (Coblosan).
Kegiatan pemilu ini memang menjadi ciri khas dalam politik, namun sayang kegiatan ini dijadikan sebagai satu-satunya kegiatan berpolitik bagi masyarakat, bahkan sebagian besar masyarakat.
Mereka yang sudah mengikuti rangkaian kegiatan pemilu atau (coblosan) merasa sudah cukup sampai disitu, mereka yang sudah mencelupkan kelingkingnya ke tinta ungu merasa sudah cukup sampai disitu, cukup moment nongol di politik sekali dalam lima tahun. Padahal sebenarnya kegiatan pemilu itu sebagai awal gerbang dari perpolitikan, yang mana dari pemilu ini akan menentukan kegiatan politik selanjutnya dan tentunya diperlukan keikutsertaan kita sebagai rakyat yang memegang kedaulatan tertinggi.
Mereka yang sudah mengikuti rangkaian kegiatan pemilu atau (coblosan) merasa sudah cukup sampai disitu, mereka yang sudah mencelupkan kelingkingnya ke tinta ungu merasa sudah cukup sampai disitu, cukup moment nongol di politik sekali dalam lima tahun. Padahal sebenarnya kegiatan pemilu itu sebagai awal gerbang dari perpolitikan, yang mana dari pemilu ini akan menentukan kegiatan politik selanjutnya dan tentunya diperlukan keikutsertaan kita sebagai rakyat yang memegang kedaulatan tertinggi.
Terkadang mereka yang paham dengan politik merasa enggan dan acuh untuk menterlibatkan dirinya secara aktif dalam berpolitik, dengan demikian dapat ditarik suatu tanya yang besar, bagaimana dengan mereka yang awam dan tabu tentang politik, mereka yang tidak mengenyam pendidikan politik, dan mereka yang tidak tersentuh dengan sosialisasi politik sedikitpun. Maka bagaimana partisipasi mereka ?
Moment nongol di politik lima tahun sekali ini, lambat laun semakin membudaya, mendarah daging, hingga menjadi suatu tradisi yang diturun-temurunkan, yang menjadikan stigma negatif pabila mendengar kata “politik” hal ini tentu membahayakan bagi para generasi penerus selanjutnya, mereka akan mendapatkan dan terpengaruh dari hegemoni orang terdekatnya yakni keluarga ditambah dengan berbagai anggapan miring dan kejadian-kejadian yang membuat stigma jelek baru lagi tentang politik, akrab sekali ditelinga kita bahwasannya politik itu kotor, politik itu rakus, politik itu hina, politik itu maruk, dan anggapan-anggapan miring lainnya yang menambah kesan buruh dan negatifnya dari politik.
Tentu apabila kita menggunakan teori Gabriel Almond yang merepresentasikan lebih rinci dari pemikiran David Easton, mengatakan bahwasannya untuk memperoleh suatu output yang maksimal diperlukan realisasi input yang maksimal pula, dimana masing-masing dari struktur baik supra maupun infra (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, Parpol, Kelompok kepentingan) harus menjalankan fungsi-fungsinya yaitu sosialisasi politik, komukasi politik, dan rekruitmen politik untuk melahirkan output yang maksimal.
Jika kita kaitkan dengan partisipasi politik masyarakat yang hanya muncul pada moment lima tahun sekali, maka dapat disimpulkan bahwasannnya terdapat kekurangan atau kendala pada 3 fungsi tersebut.
Kurangnya dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut menghasilkan suatu output yang sedikit dan banyaknya kecacatan, dan dengan demikian apabila suatu sistem politik tersebut terus menerus berlanjut tanpa adanya suatu upgrade maka buka tidak mungkin MONOPOLISTIK (moment nongol di politik lima tahun sekali titik (.) ), akan terus membudaya, terus membudaya, dan semakin membudaya.
—> Sumber gambar : Zonamedia.wordpress.com
—> Follow Instagram kita di @laboratoriumip
—> Follow Instagram kita di @laboratoriumip