Peran Civil Society dalam Pusaran Politik Identitas

Sebagai sebuah negara yang memiliki keanekaragaman bangsa dan budaya, menjadikan suatu tantangan tersendiri bagi Indonesia dalam mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis di tengah masyarakat. Hal ini berangkat dari sebuah pemahaman bahwa eksistensi komunitas dan bangsa-bangsa sudah lama hidup menjalin ikatan komunal sebelum negara itu sendiri terbentuk. Artinya terminologi negara hanya sebuah imagine yang menjelaskan arena tempat tinggal komunitas-komunitas sementara bangsa merupakan arena politis yang menggambarkan aktivitas, budaya dan pola tingkah laku komunitas didalamnya. Karena itu, tantangan bagi negara multikultural adalah bagaimana menciptakan konsep kesejahteraan yang mengedepankan keadilan, kesetaraan, dan hak asasi di antara bangsa-bangsa tersebut tanpa ada satu pihak yang merasa sangat diuntungkan dan dirugikan.
Namun perlu disadari pula bahwa dalam negara multikultural dan plural, ancaman konflik dan disintegrasi bangsa menjadi hal yang sulit untuk dinafikan mengingat bangsa-bangsa yang hidup didalamnya memiliki berbagai kepentingan yang tidak bisa diseragamkan dengan bangsa lainnya. Hal ini diperparah manakala pemerintah sebagai pelaksana kuasa untuk mengatur warga negaranya dianggap gagal dalam mengelola dan mendistribusikan sumber daya (resources) kepada seluruh komunitas bangsa, sehingga ada komunitas bangsa yang memiliki akses dan kesempatan untuk mendapatkan sumber daya tertentu dengan mengorbankan komunitas bangsa lainya. Di samping itu, klaim mayoritas atas minoritas seolah menjadi sebuah kebenaran mutlak yang menyebabkan komunitas bangsa tertentu yang dianggap minoritas merasakan kesulitan untuk mendapatkan akses atas sumber daya. Praktik tersebut yang kemudian dikenal dengan minoritisasi bangsa. Tidak heran jika kemudian wacana politik identitas mencuat ke permukaan sebagai bentuk resistensi untuk mendapatkan rekognisi dan menjamin aksesibilitas atas sumber daya.
Identitas keberagaman di Indonesia terus diuji dengan beragam tindakan diskriminasi. Selama 14 tahun setelah reformasi, setidaknya ada 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Yayasan Denny JA (www.kompas.com) mencatat, dari jumlah itu paling banyak kekerasan terjadi karena berlatar agama/paham agama sebanyak 65 persen. Sisanya, secara berturut-turut adalah kekerasan etnis (20 persen), kekerasan jender (15 persen), dan kekerasan orientasi seksual (5 persen). Semenjak reformasi, diskriminasi yang terjadi lebih bersifat priomordial, komunal, bukan seperti diskriminasi ideologi yang terjadi pada masa Orde Baru.
Mencuatnya kasus politik identitas yang mengganggu stabilitas politik dan keamanan negara semakin menguatkan argumen bahwa perlu adanya penguatan ideologi bangsa. Proses penguatan ideologi bangsa tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Perlu adanya upaya yang serius dari seluruh komponen masyarakat. Karena, jika hanya mengandalkan negara saja tentu tidak akan berjalan efektif mengingat berbagai keterbatasan yang dimiliki negara. Untuk itu, diperlukan kehadiran dari masyarakat sipil yang diharapkan mampu menjadi bagian dari aktor kekuatan penting di masyarakat sampai grass root – yang turut terlibat dalam proses penguatan ideologi bangsa, mengingat mereka yang lebih memahami akan kebutuhan dan kondisi mereka. Di samping itu, melalui kemunculan kekuatan masyarakat sipil pula diharapkan mampu merubah paradigma pembangunan dari yang berorientasi top-down menuju bottom up.
Masyarakat sipil dapat memainkan peranannya dalam mengubah paradigma masyarakat akan pentingnya persatuan bangsa dan memberikan penyadaran kepada mereka bahwa negara berada diambang kehancuran apabila masyarakatnya lebih mengedepankan kepentingan identitas kelompok ketimbang identitas nasional. Tetapi perlu garis bawahi, hal ini tidak dipahami sebagai upaya untuk mereduksi identitas-identitas bangsa sebab identitas dari berbagai bangsa tersebut merupakan sebuah kekayaan dan keunikan tersendiri yang harus direkognisi oleh negara. Yang ditekankan disini adalah bagaimana kehadiran masyarakat sipil dapat memberikan kesadaran akan idelogi bangsa yang mengedepankan nilai-nilai persatuan, keadilan, semangat gotong royong, toleransi, tolong-menolong dan ikut terlibat dalam mempertahankan NKRI tanpa harus menghilangkan identitas yang melakat pada bangsa-bangsa itu sendiri.
Masyarakat sipil dapat menciptakan ruang publik dalam aktivitas kehidupan di tengah masyarakat dengan mengedepankan sifat inklusif. Inklusif artinya terbuka untuk siapa pun tanpa memandang latar belakang dari identitas bangsa tersebut ( baca: SARA). Sebab, salah satu yang menjadi faktor pemicu terjadinya perpecahan di tengah masyarakat (antar bangsa) adalah pola aktivitas kehidupan yang bersifat eksklusif dimana seseorang atau komunitas yang berbeda dianggap terpisah dari mereka. Hal demikian tentu akan berkonsekuensi pada menajamnya egosentrisme dan etnosentrisme komunitas-bangsa yang berakhir pada disharmonisasi.
Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Ashutosh Varshney (2002) bahwa dalam suatu masyarakat cenderung membentuk dua pola ikatan komunal (sosial). Yaitu ‘Ikatan Intra-komunal’ dan ‘Ikatan Inter-komunal’. Dalam masyarakat yang membangun pola ikatan intra-komunal, hubungan-hubungan sosial hanya dilakukan oleh sekelompok atau komuntas yang sama. Mereka menjalani kehidupan sehari-hari secara intensif satu sama lain karena merasa berasal dari komunitas yang sama. Mereka terpisah dan menutup diri dengan komunitas yang lain. Ikatan intra-komunal ini cenderung berpotensi menimbulkan kekerasan komunal manakala terjadi guncangan dari luar, ketegangan, atau rumor antar komunitas.
Sedangkan ikatan inter-komunal yaitu pola hubungan sosial yang terdiri dari beragam komunitas – komunitas yang berbeda. Mereka hidup  berdampingan, saling mengunjungi, toleransi dan berbaur. Ikatan inter-komunal ini yang akan menciptakan kedamaian komunal. Karena mereka berusaha melepaskan diri dari segala perbedaan-perbedaan meski terjadi guncangan dari luar, ketegangan, atau rumor antar komunitas.

Berangkat dari pandangan Varshney diatas, maka sudah selayaknya masyarakat sipil dapat menggerakan pola aktivias kehidupan bermasyarakat yang bersifat inter-komunal (inklusif) sehingga terdapat ruang-ruang partisipasi yang melibatkan berbagai komunitas-bangsa tanpa memandang perbedaan sehingga terjalin rasa persaudaraan, gotong royong dan semangat kesatuan karena setiap elemen tidak lagi merasa terpisah melainkan menjadi satu kesatuan utuh atas nama bangsa dan negara Indonesia. Sebagai penutup, penguatan ideologi bangsa membutuhkan peran serta masyarakat sipil sebagai bagian dari aktor kekuatan yang lahir dari masyarakat itu sendiri. Tentu hal demikian dapat menjadi alternatif mana kala peran pemerintah masih dianggap lemah dalam upaya penguatan ideologi bangsa. (Md)

(Sumber foto: www.suluttoday.com)
Scroll to Top