Pergerakan Buruh di Banten dalam Rangka Revisi UMK

Hal yang tidak mungkin dilupakan ketika berbicara tentang buruh adalah  Upah. Dimana upah merupakan komponen penting yang harus diberikan pengusaha kepada pekerja sebagai timbal balik dari produktivitas kerja yang dihasilkan, Pemberian upah ini harus berstandar layak agar para pekerja dapat mencukupi kebutuhan sehari-harinya. (Sejati, 2015). Selaras dengan pengertian buruh itu sendiri yang mana dapat ditarik dengan rumus “buruh = upah”, maka ketika berbicara tentang buruh maka akan ada kelanjutan selanjutnya yakni upah. Mengenai upah buruh di Indonesia, hal ini diatur dalam sebuah regulasi pemerintah yang tercantum pada  Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 7 TAHUN 2003.

Dengan demikian kenaikan upah menjadi isu yang selalu melekat ketika terjadi aksi mogok kerja serikat buruh di Indonesia pasca reformasi. Isu ini seolah-olah menjadi isu tunggal yang diperjuangkan kaum buruh ketika aksi mogok, aksi blokade jalan, ataupun aksi demonstrasi. Kata “buruh” dan “upah” seakan-akan melekat satu sama lain antara definisi dan pemaknannya, berbicara buruh dikonotasikan dengan berbicara tentang upah sehingga pemerintah dan publik sering terjebak dalam kesempitan isu ketika berbicara tentang buruh. Asumsi tersebut meruncing pada relasi isu kebijakan pemerintah dengan kaum buruh hanya sebatas pada masalah Upah Minimum Provinsi/ Kabupaten (Zuhdan, 2014).

Pemerintah dengan peraturannya mempengaruhi tinggi rendahya upah, peraturan tentang upah umumnya merupakan batas bawah dari tinggkat upah yang harus dibayarkan. Tanggal 23 November 2017, buruh melakukan pergerakan untuk menuntut pemerintahan Provinsi Banten untuk merevisi kembali surat keputusan tentang UMK tersebut. Menuai semangat berdemo dalam mengaspirasikan pundi-pundi harapan kepada sosok pemimpin Banten agar lebih peka dan tanggap akan sebuah kebutuhan masyarakat buruh,  menjadi ambang angan yang tak bertepi arusnya. Menurutnya pemerintah dalam melakukan penetapan SK UMK ini dinilai memberatkan bagi mereka, maka mereka  membawanya kepada ranah antagonisme, hal ini dianggap sebagai  jalan yang  terbaik dalam menyuarakan hati nurani berikut dengan aspirasi para buruh yang ada di Banten.

Berawal dari proses kampanye yang disampaikan oleh WH yang kemudian terpilih menjadi Gubernur Provinsi Banten dimana dalam kampanyenya  memberikan janji untuk mensejahterakan kaum buruh, hal ini disampaikan oleh Sekretaris Serikat Pekerja Indonesia (SPI) Provinsi Banten saat di wawancarai oleh tim Media (Kabar-Banten) bahwasannya Gubernur Banten akan menetapkan UMK 2018 di seluruh Provinsi Banten sesuai dengan rekomendasi Wali Kota dan Bupati. Namun pada kenyatannya justru malah usulan dari Pemerintah atau Akademisi dan dari Asosiasi Pengusaha Indonesai (Aspindo) berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015. Yang kemudian berpengaruh pada hilangnya kepercayaan, karena buruh merasa Gubernur Banten mengingkari dari apa yang telah diucapkannya yang kemudian menjadi Indikasi geramnya kaum buruh yang akhirnya membuat sebuah gerakan perlawanan.

Menurut Sekretaris Aliansi Serikat Pekerja  Buruh Kabupaten Serang, Asep Danawirya berpendapat (Media Kabar-Banten) kekecawaan buruh sangat wajar mengingat WH tidak mampu merealisasikan janji kampanye saat pencalonan, selain itu dia juga berpendapat bahwasannya ketika ingin menjadi Gubernur Banten berbondong-bondong mendatangi buruh meminta dukungan kepada buruh, alasan buruh memilihnya dikarenakan kekecewaan terhadap Gubernur Banten sebelumnya, namun hal ini terjadi lagi. Hal ini disampaikan oleh  Sekretaris Serikat Pekerja Indonesia (SPI) Provinsi Banten, Tugimin yang mengatakan, “buruh di Provinsi Banten kecewa atas sikap WH yang lebih memilih menetapkan UMK sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan“ (dikutip dari media Kabar-Banten.com).

Melansir dari ungkapan yang disampaikan oleh (Daniel Hutagalung) bahwasannya  “Pokok permasalahan kita adalah mengidentifikasi kondisi-kondisi diskursif bagi tumbuhnya suatu aksi kolektif, yang diarahkan demi perjuangan menentang ketimpangan dan tantangan atas relasi-relasi subordinasi. Atau dapat dikatakan tugas kita adalah mengidentifikasi kondisi-kondisi yang membuat relasi subordinasi menjadi relasi opresi, dan oleh karena itu harus membuatnya menjadi ranah antagonisme” (Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy). Dengan ungkapan di atas memperjelas bagaimana  sikap yang harus diejawantahkan  apabila dalam proses mengidentifikasi gejala-gejala kehidupan ini dirasa memiliki ketimpangan atau ketidakwajaran. Begitupula dengan apa yang dirasakan oleh para kaum serikat buruh di Banten yang merasa diberatkan dengan adanya kebijakan yang terbentuk dalam Surat Keputusan Penetepan UMK (Upah Minimum Kabupaten/kota) oleh Gubernur Banten.

Pekerja membutuhkan upah yang layak untuk bisa menghidupi keluarganya secara wajar. Tunjangan dan fasilitas kesejahteraan perusahaanpun juga ikut berperan penting untuk bisa membuat pekerja nyaman, senang, dan semangat bekerja. Sayangnya beberapa pemilik perusahaan hanya memandang upah, jaminan sosial, dan fasilitas kesejahteraan sebagai beban pengeluaran yang mau tidak mau harus dibayarkan. Keyakinan seperti itulah yang terkadang membuat pengusaha mengesampingkan kewajibannya untuk memberikan kesejahteraan penuh pada buruhnya. Di Indonesia sering sekali didapati protes-protes buruh kepada perusahaan yang terbilang tidak habis-habis. Ini menunjukan betapa masih kurangnya kesejahteraan pekerja/buruh di Indonesia (Sejati, A. N., 2015). Jika pihak perusahaan tidak mampu menginterpretasikan kebutuhan buruh  yang seharusnya, maka harapan mereka digantungkan kepada kebijakan pemerintah dalam hal ini Gubernur Provinsi Banten untuk mengeluarkan regulasi terkait UMK dengan memperhatikkan indikator-indikator kelayakan dan penyesuaian kebutuhan di Daerah Banten. Kemudian jika ternyata kebijakan pemerintah juga tidak dapat menginterpretasikan dari apa yang seharusnya langkah yang perlu ditempuh adalah dengan  membawanya kearah antagonisme. Maka 23 November 2018 seluruh buruh di Provinsi Banten berdatangan dan menyatukan barisan mengatasnamakan  serikat buruh dan serikat pekerja se-Banten (Media detik.com), mereka melakukan pergerakan aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Banten d Kantor Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B), Kecamatan Curug, Kota Serang dalam rangka revisi UMK 2018.

Meskipun aksi-aksi pemogokan tersebut merupakan senjata yang ampuh, perlu dicatat bahwa besarnya penawaran tenaga kerja yang sangat besar dibandingkan dengan permintaannya juga sangat efektif untuk memperlemah posisi serikat buruh dalam memperjuangkan tuntutannya. Karena itu, pemogokan atau gelar aksi-aksi protes lain, seperti unjuk rasa, menjadi kurang efektif kalau pasar tenaga kerja sangat kecil permintaannya sehingga buruh pengganti bisa diperoleh dengan mudah. Bagaimanapun, bila melihat realitas dari sisi struktur pasar tenaga kerja, besarnya surplus tenaga kerja itu telah secara alami membuat perjuangan buruh untuk meningkatkan upah menjadi tidak mudah, tanpa intervensi dari pemerintah contohnya berupa kebijakan afirmatif. Jangan sebaliknya, justru pemerintah melakukan kontrol atau kecurigaan berlebihan terhadap serikat buruh karena pertimbangan politis, mengingat jumlahnya yang sedemikian besar dan kenyataan nasibnya juga memprihatinkan (Sudjana, 2002 : 115).

Dengan respon Pemerintah yang demikian bukan tidak mungkin akan banyak buruh yang harus mencari pekerjaan ekstra di luar penghasilan buruhnya. Hak buruh untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan mendapatkan tempat sebagai subjek pembangunan menjadi penting. Kehidupan layak berarti bukan hanya ketika buruh dapat mencukupi kebutuhan diri, kehidupan keluarga, dan kehidupan sosialnya, melainkan juga ketika buruh mendapatkan kenyamanan di tempat kerja, kesempatan meningkatkan karir, kebebasan dari tekanan, dan memiliki hak-hak untuk berserikat yang dijamin oleh Undang Undang Dasar 1945 (Teja, 2012)./ Fatonah

 

Referensi

Laclau, E dan Chantal Mouffe. 2008. Hegemoni dan Strategi Sosialis (Postmarxisme + Gerakan Sosial Baru). Yogyakarta: Resist Book. Diterjemahkan oleh Eko Prasetyo Darmawan.

Sejati, A. N. 2015. “Peran Buruh Dalam Kesejahteraan Sosial Perusahaan Pt. Senang Kharisma Textile”. Jurnal Sosiologi DILEMA, 30(1),18-19.

Sudjana, Eggi. 2002. Buruh Menggugat. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Teja, Mohammad. 2012. ” Kesejahteraan Buruh dan Upah Minimum Kabupaten/Kota”. Jurnal Info Kesejateraan Sosial, 4(3), 10.

Scroll to Top