Ditengah bulan suci umat muslim, Panitia khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu masih sibuk rapat untuk membahas RUU pemilu yang seharusnya sudah selesai di bulan April. Ngaretnya penyelesaian RUU Pemilu yang tidak sesuai target haruslah dimaklumi, karena ditengah gentirnya RUU Pemilu yang harus segera diselesaikan, anggota Pansus RUU Pemilu masih menyempatkan untuk jalan-jalan ke luar negeri dengan alibi “study tour”.
Tidak selesainya RUU Pemilu sesuai target juga difaktori oleh lamanya lobi antar fraksi dalam mencapai kesepahaman di beberapa isu krusial. Dan yang menjadi isu-isu krusial dalam pansus RUU Pemilu adalah hal-hal yang mempertimbangkan untung-rugi bagi masing-masing partai politik. Dengan kata lain, yang menjadi prioritas anggota Pansus RUU Pemilu bukanlah untuk mencetak Pemilu yang berkualitas melainkan mewakili kepentingan dari background partai politiknya masing-masing.
Jika melihat draft naskah akademik RUU Pemilu yang diajukan oleh pemerintah ke DPR, ada upaya pemerintah untuk membentuk UU pemilu yang dapat memperkuat sistem presidensial. Ini bisa dilihat dari opsi sistem pemilu legislatif yang diajukan pemerintah yaitu “terbuka-terbatas”. Redaksi “terbuka-terbatas” seakan hanya untuk mengelabui rakyat yang seolah-olah sistem pemilunya “terbuka” padahal dalam pelaksanaannya lebih condong pada sistem pemilu “tertutup”. Untuk memahami lebih mendalam tentang sistem pemilu “terbuka/tertutup/terbuka-terbatas” silahkan USAHA sendiri dengan gugling, biar ga dibilang NDESO sama Mas Kaesang.
Lantas kenapa dengan sistem terbuka-terbatas atau lebih tepatnya tertutup bisa lebih memperkuat sistem presidensial? Ini dikarenakan sistem pemilu tertutup akan lebih menguntungkan partai-partai politik besar dan akan mengikis partai-partai politik baru/kecil secara perlahan. Dengan begitu, jumlah fraksi di DPR akan semakin mengecil, sehingga pemerintah akan lebih mudah dalam melaksanakan tata kelola pemerintahannya. Simpelnya, Semakin sedikitnya jumlah fraksi di DPR, semakin mudah pemerintah ‘kongkolingkong’ dengan DPR. Dan di isu ini, hanya dua fraksi besar yang menginginkan sistem pemilu tertutup yaitu fraksi Golkar dan PDIP.
Upaya-upaya lain dengan dalih untuk memperkuat sistem presidensial, adalah dengan diaturnya pasal ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dan dinaikannya ambang batas parlemen (parlementary threshold). Ini masih menjadi pembahasan hangat yang tak kunjung usai di rapat Pansus RUU Pemilu. Rapat terakhir semalam (8/5), anggota Pansus belum juga menemukan titik temu kesepahaman antar fraksi. Bagi fraksi/parpol kecil, jelas tidak akan menyetujui adanya presidential threshold karena akan mempersulit partainya untuk mengusung elite partai untuk dicalonkan sebagai presiden di Pemilu 2019. Sedangkan bagi partai politik besar, jelas ini diperlukan karena lebih menguntungkan partainya, namun lagi-lagi dalih diperlukannya pengaturan ambang batas presiden adalah untuk menguatkan sistem presidensial.
Fraksi Golkar dan PDIP (plus Nasdem) masih satu suara di isu presidential treshold yaitu menginginkan ambang batas sebesar 20 persen perolehan kursi atau 25 persen perolehan suara nasional. Selebihnya, semua fraksi menolak diberlakukannya presidential treshold. Dan untuk parlementary treshold, mayoritas fraksi menyetujui dinaikannya ambang batas dari angka awal yang hanya 3,5 persen. Namun masih ada perdebatan di berapa persen angka yang akan dinaikan.
Di isu lainnya, Fraksi penguasa yaitu Golkar dan PDIP masih juga menunjukan kekompakannya dengan menginginkan alokasi kursi per daerah pemilihan (distrct magnitude) menjadi 3-10 perdapil, sedangkan delapan fraksi lainnya menolak untuk merubah jumlah district magnitude dari sebelumnya, yakni dengan tetap di angka 3-8 per dapil.
Adapun isu yang masih dalam tahap perdebatan lainnya adalah metode konvensi suara ke legislatif. Selama ini metode konvensi suara yang dilakukan adalah metode yang dianggap merugikan partai-partai politik besar yaitu kuota hare. Dan tentu partai yang merasa dirugikan menginginkan perubahan metode konvensi suara ke yang lebih menguntungkan yaitu Divisor Sainte Lague.
Dari sedikit paparan diatas, kita bisa membaca bahwa pokok permasalahan sederhananya adalah di sistem presidensial. Pemerintah sebagai pengaju RUU Pemilu menginginkan UU Pemilu yang dapat memperkuat sistem presidensial, dan ini disepakati oleh partai-partai politik besar. Tapi bagi partai politik kecil dan menengah hal ini dibaca sebagai upaya untuk menyingkirkan partai politiknya.
Lobi antar fraksi masih terus berlanjut, pimpinan partai politik turun tangan untuk beremuk dengan partai-partai politik lainnya. Untuk mencapai kesepahaman dalam merumuskan isu/pasal krusial tentu sulit di capai, sehingga ‘tukar guling pasal’ tidak bisa terhindarkan. Disitulah kompromi-kompromi licik dibangun, sehingga regulasi dibuat tidak lagi berdasarkan kepentingan kolektif bangsa, melainkan kepentingan pragmatis jangka pendek untuk pemilu 2019.
Pokok pembahasan disini adalah bukan membicarakan sistem presidensial perlu diperkuat atau tidak. Juga tidak membahas baik atau buruknya sistem presidensial, tidak membahas sistem pemilu mana yang terbaik terbuka atau tertutup, diperlukan atau tidaknya presidential threshold ataupun berapa jumlah yang baik untuk parliamentary threshold dan district magnitude. Tapi satu hal yang ingin disampaikan disini adalah sebagaimana disampaikan oleh Ceu Popong kemarin di seminar HIMA IP, bahwa sistem presidensial itu sial. Dan alotnya pembahasan RUU Pemilu karena presiden“sial”. (SN)
Sumber gambar: inilah.com