LGBT Dalam Demokrasi Di Indonesia

Selama beberapa puluh tahun terakhir, penelitian mengenai demokrasi terus berkembang dan memberikan penjelasan-penjelasan yang sangat menarik. Perkembangan dan kinerja lembaga demokrasi dan sistem demokrasi secara keseluruhan, baik itu mengenai aspek individu, peran para elite, pemimpin dan rakyat, dan terminologi demokrasi, telah dianalisa dan direkonstruksi secara detail. Sumber-sumber yang relevan untuk studi demokrasi telah menerima tambahan-tambahan yang baru dan berharga sehingga memudahkan kita membahas mengenai demokrasi.
Penjelasan awal dari demokrasi bisa dimulai dengan mengartikan kata demokrasi itu sendiri terlebih dahulu. Kata demokrasi pertama kali diperkenalkan oleh Athenians sekitar abad ke-6 SM dalam rangka menentukan sistem pemerintahan mereka. Demokrasi atau δημοκρατία (dēmokratía) “kekuasaan rakyat”, terbentuk dari δῆμος (dêmos) “rakyat” dan κράτος (kratos) “kekuatan” atau “kekuasaan” (1).
Dalam rangka mendapatkan label “demokrasi”, sebuah negara diharuskan memenuhi persyaratan sederhana dalam konstitusinya. Yang pertama, adanya jaminan hak asasi manusia sebagai dasar untuk setiap individu, negara, dan pemerintah, serta kelompok sosial. Yang kedua, pembagian kekuasaan diantara lembaga-lembaga negara, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Yang ketiga, kebebasan berpendapat, bersuara, pers dan media massa. Yang ketiga, kebebasan religius. Yang keempat, kebebasan untuk memilih dan dipilih. Dan yang terakhir, Good Governance (2).
Indonesia merupakan salah satu negara yang selama beberapa dekade ini mencoba untuk menerapkan sistem pemerintahan yang demokratis. Semenjak memproklamirkan kemerdekaannya pada 1945, Indonesia sudah menerapkan tiga tipe demokrasi. Yang pertama adalah Demokrasi Parlementer dibawah kepemimpinan Presiden Sukarno yang berlangsung pada tahun 1950-1959. Yang kedua adalah Demokrasi Terpimpim pada tahun 1959-1965, dan yang terakhir adalah Demokrasi Pancasila dibawah kepemimpinan Presiden Suharto sejak Maret 1965 hingga Mei 1998 yang ditandai dengan reformasi.
Reformasi 1998 memberikan harapan baru bagi masyarakat Indonesia. Dihapusnya Dwifungsi ABRI dan dilaksanakannya Pemilu membawa angin segar bagi demokrasi di Indonesia. Pembagian kekuasaan dalam lembaga negara semakin diperjelas sehingga lembaga yang satu tidak bisa saling mengintervensi. Kedaulatan rakyat juga perlahan-lahan mulai diperbaiki agar segala kebijakan pemerintah berorientasi kepada rakyat. Namun, setiap periode tentunya memiliki permasalahnnya sendiri, termasuk di periode reformasi saat ini.
Jika sebelum reformasi Indonesia dihadapkan pada permasalahan sistem pemerintahan dan struktur pemerintahan, periode reformasi justru memiliki lebih banyak tantangan dan permasalahan yang beragam. Salah satu yang belakangan ini sedang menjadi bahan perbincangan di berbagai kalangan adalah permasalahan mengenai hak bagi kaum LGBT.
LGBT merupakan sebuah komunitas yang terdiri orang-orang minoritas secara seksual yang terdiri dari Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender. Beberapa bulan belakangan ini hampir semua kalangan, baik itu dari pejabat pemerintahan, politisi, pemimpin-pemimpin agama, hingga psikiater, bersama-sama menyerukan suara homophobic kepada kaum LGBT. Mereka bersama-sama mengkrimanlisasi dan mencoba untuk menyembuhkan kaum LGBT dari gangguan mental. Peningkatan sentimen anti LGBT ini tersebar luas hingga ke media-media luar. Human Rights Watch (HRW) mengatakan bahwa ini merupakan serangan yang mengancam keamanan dan hak-hak kaum minoritas seksual (3).
Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) untuk menghentikan program LGBT di Indonesia (4). Pesantren waria di Yogyakarta dipaksa ditutup setelah menghadapi tekanan keras dari kelompok Muslim garis keras (5). Aliansi Cinta Keluarga (AILA) mengajukan judicial review ke MK, meminta para hakim untuk merevisi pasal kriminal dan mempidanakan LGBT (6). Dalam sidang tanggal 23 Agustus, hakim Patrialis Akbar tampaknya menyetujui pendapat para saksi ahli dengan menyatakan bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler yang memisahkan urusan agama dengan urusan kenegeraan (7). Kemudian pada tanggal 11 Agustus, juru bicara Presiden Jokowi, Johan Budi, mengatakan walaupun hak asasi warga negara LGBT dilindungi, tetapi tetap tidak ruang untuk penyebaran gerakan LGBT di Indonesia.
Permasalahan LGBT di Indonesia memang lebih rumit dibandingkan permasalahan pemimpin daerah yang menganut agama minoritas, karena dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak ada pembahasan mengenai hak orientasi seksual. Indonesia sendiri menganut ideologi Demokrasi Pancasila yang merupakan gabungan dari paham demokrasi dengan nilai luhur budaya bangsa yang ada dalam Pancasila. Tujuannya adalah agar Indonesia tidak hanya berlandaskan pada Hak Asasi Manusia dan mekanisme kedaulatan rakyat, namun juga berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila. Permasalahannya, Indonesia menjadi sering menghadapi dilema dalam menyelesaikan persoalan yang terkait dengan Hak Asasi Manusia dan nilai-nilai dalam Pancasila itu sendiri, seperti kasus LGBT ini.
Penting untuk diingat bahwa Indonesia bukanlah negara yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama ataupun golongan, namun banyak peraturan-peraturan daerah yang dikeluarkan justru mendiskriminasi kelompok-kelompok minoritas. Kebijakan-kebijakan yang mendiskriminasi ini justru membuat kelompok garis keras merasa memiliki kebebasan untuk bertindak menggunakan kekerasan, sehingga banyak sekali kasus diskriminasi bagi kelompok-kelompok minoritas di Indonesia, termasuk kelompok LGBT.
Ada beberapa hal yang menarik untuk diperhatikan mengenai tidak adanya ruang bagi pergerakan kaum LGBT di Indonesia. Pertama, kebebasan berserikat dan berkumpul adalah hak konstitusional. Tetapi Indonesia tidak memiliki pasal yang memberikan larangan atau hukuman terhadap LGBT, namun juga tidak ada pasal yang menyatakan bahwa LGBT diakui di Indonesia. Keberadaan LGBT akhirnya selalu dihadapkan pada prasangka-prasangkan masyarakat. Kedua, ketika negara demokrasi lain mendorong majunya hak-hak LGBT, Indonesia justru memilih untuk melawan arus. Indonesia yang selama ini selalu mengumandangkan toleransi dan keberagamannya, justru tidak berdaya jika dihadapkan pada permasalahan-permasalahan minoritas.
Sudah terlalu banyak kasus-kasus diskriminasi bagi kelompok-kelompok minoritas di Indonesia, baik dalam skala lokal hingga skala nasional. Kelompok minoritas agama seperti umat Kristen, Ahmadiyah, dan Syiah telah diusir dari daerah dan tempat ibadah mereka. Dan sangat disayangkan karena kasus-kasus minoritas ini selalu hilang tanpa penyelesaian yang jelas. Diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual bukanlah suatu permasalahan agama atau budaya, tetapi kembali lagi ke permasalahan politik.
Indonesia perlu menetapkan arahnya, ingin menjunjung demokrasi atau melayani suara-suara mayoritas. Perlu ditetapkan peraturan yang jelas mengenai hak-hak kaum minoritas. Dan yang lebih penting adalah menetapkan arah ideologinya. Jika Indonesia ingin menjadi negara yang demokrasi, peraturan-peraturan yang adapun harus menghormati dan menjunjung hak-hak yang sesuai dengan standar nasional dalam memastikan hak dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap warga negaranya.
Demokrasi adalah sebuah paradok. Dimana disatu sisi ia mengisyaratkan adanya jaminan kebebasan serta peluang berkompetisi dan berkonflik, namun di sisi lain juga mengisyaratkan adanya keteraturan, kestabilan, dan konsensus. Kunci untuk mendamaikan paradok dalam demokrasi terletak kepada cara kita memperlakukan demokrasi. Demokrasi harus diperlakukan sebagai sebuah cara atau proses dan bukan sebuah tujuan. Dengan demikian keteraturan, kestabilan, dan konsensus yang dicita-citakan dan dibentuk pun diposisikan sebagai hasil bentukan daris suatu proses yang penuh kebebasan, persuasi, dan dialog yang bersifat konsensual (8). (AFZ)
———————————————————————————-
(1) Henry George Liddell, Robert Scott, A Greek-English Lexicon, at Perseus.
(2) http://www.democracy-building.info/definition-democracy.html diakses pada pukul 20:33 WIB pada tanggal 22/12/16
(3) http://www.hrw.org/id/news/2016/08/10/292896 diakses pada pukul 19:33 WIB pada tanggal 24/12/20161
(4) http://nasional.kompas.com/read/2016/02/15/18442151/Pemerintah.Panggil.UNDP.untuk.Jelaskan.Dana.Kampanya.LGBT diakses pada pukul 18.45 WIB pada tanggal 24/12/2016
(5) http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/02/160225_indonesia_ponpes_waria_ditutup diakses pada pukul 19.39 WIB pada tanggal 24/12/2016
(6) http://bigstory.ap.org/article/43827d24569e49b4a598315ed0e026f4/indonesias-top-court-hears-case-criminalizing-gay-sex diakses pada pukul 19:43 WIB pada tanggal 24/12/2016
(7) http://news.detik.com/berita/3281670/hakim-konstitusi-patrialis-soal-korelasi-lgbt-ham-kita-bukan-negara-sekuler diakses pada pukul 19:47 WIB pada tanggal 24/12/16
(8)  Saefullah Fatah, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia. (Jakarta: GhaliaIndonesia, 1994) hlm.8-9
Scroll to Top