DINASTI POLITIK: Budaya, Struktur Masyarakat dan Kegagalan Pasar Pemilu

Dinasti? Ya dinasti, Satu dosa seribu siksa, mengapa demikian, karena sampai detik ini kita sepakat bahwa dampak dari suatu dinasti menimbulkan permasalahan yang sangat kompleks, sehingga jika kita seolah yakin bahwa ketika dinasti itu ibarat sebuah dosa maka akan ada seribu sisksa untuk dosa tersebut. Ya, itulah yang terlintas dalam benak kita saat ini. Dinasti bak Suatu tembok kokoh yang sulit untuk untuk di hancurkan nampaknya. Mungkin kita sepakat akan suatu statement bahwa dinasti suatu opened crime.
Pertanyaan yang sangat klasik pun muncul, mengapa bisa demikian? Hal tersebut karena sulit bagi kita untuk keluar dari belenggu dinasti, hal tersebut dikarenakan dinasti didirikan begitu rapi, sistematis dan terstrukural. Sesuai dengan pernyataan Joel S Migdal Dimana menurut migdal mengapa orang kuat lokal berhasil melakukan kontrol sosial? Hal ini dikarenakan orang orang kuat lokal tersebut berhasil menempatkan diri atau menaruh anggota keluarganya pada sejumlah jabatan penting demi menjamin alokasi sumber – sumber daya berjalan sesuai kehendak mereka sendiri ketimbang menuruti aturan semestinya. Pernyataan migdal tersebut dikarenakan atas beberpa hal yakni yang pertama ialah orang kuat lokal diuntungkan dengan struktur masyarakat yang mirip dengan jaringan sehingga orang kuat lokal memiliki pengaruh melampaui para pemimpin negara dan birokrat (Harris, 2004).
Budaya “patronalisme”, “klientilisme” atau juga sering disebut hubungan Patron-klien” yang mengakar kuat pada masyarakat memang secara tidak langsung membentuk dinasti politik. Kepatuhan dan rasa hormat berlebih kepada pemimpin membentuk budaya “nurut” kepada pemimpin. Budaya demikian telah hidup jauh dari sebelum negara ini berdiri, lebih jauh kita lihat ke belakang sebelum indonesia merdeka, kerajaan-keranyaan banyak berdiri, dimana kerajaan tentunya memiliki sistem tirani oleh raja, hal ini lah yang menyanggah suatu statement bahwa dinasti di lahir semenjak era orde baru tumbang.
Begitu juga dengan struktur masyarakat indonesia majemuk. Perbedan tak hanya terdapat pada budaya akan tetapi adat istiadat, ras agama dan juga bahasa. Hal tersebut berimplikasi pada kepercayaan masyarakat kepada pemimpin yang memliki kesamaan tersebut sehingga tak ayal jika meraka yang berkuasa di daerahnya merupakan mereka yang berhasil merangkul para tokoh-tokoh lokal dan masyarakat lokal. Sehingga struktur masyarakat demikian relevan dengan politik dinasti.
Now a day, desentralisasi sering dijadikan sebagai kambing hitam ketika berbicara megenai dinasti politik. Padahal desentralisasi tidak pernah menecita-citakan politik dinasti, desentalisasi hakikatnya untuk menjamin mutu publik service, ditribution of power memang di sebutkan dalam desentralisasi namun desentralisasi tidak pernah membentuk sebuah politik dinasti. Setelah keran demokrasi dibuka pada medio 98, desentralisasi mulai dijalankan dan apa yang terajadi dengan diansti politik di beberapa daerah menurut saya bukan karena desentralisasi, lebih jauh daripada itu bukan dinasti yang membentuk suatu dinati politik namun peroses pemilihan umumlah yang membentuk sebuah dinasti.
Bukan desentralisasi yang membentuk suatu dinasti namun terbentuk karena pemilihan umum atau kontestasi politik telah menemukan kegagalan. Kurangnya pendidikan politik, budaya kolot dan struktur masyarakat yang membuat latah pada praktik pemilihan umum. Struktur dan budaya nampaknya telah menutup mata pemilih untuk melihat kompetensi calon pemimpin nya dan dampak dari dinasti politik.
Dinasti politik merupakan sebuah kegagalan pasar pemilu. Hal tersebut berdasarkan beberapa fakta yang terjadi di beberapa daerah, di klaten misalnya, istri dari bupati dan wakil bupati berhasil memenangkan kontes pemilihan umum. Kemudian Dinasti Sutrisno di kediri yang dimana istri pertama pertama dan kedua bertarung untuk satu kursi, kemudian juga dinasti politik di banten. Mereka semua dipilih langsung oleh rakyat, melalui pemilihan umum yang fair, dalam hal terlihat jelas sekali dinasti sebagai suatu bentuk kegagalan pasar pemilu atau konsekuensi dari pemilihan umum.
Merujuk pada uraian di atas, suatu garis kesimpulan yang bisa saya tarik dimana ada tiga hal yang membuat indonesia terjebak dalam belenggu politik dinasti yakni budaya, struktur masyarakat dan juga proses pemilihan umum (kegagalan pasar pemilu). (IF)
(Sumber gambar: politic.rmol.co)
Scroll to Top